BACAAN
Bacaan I: Bilangan 11:24-30
Tanggapan: Mazmur 104:24-35
Bacaan II: Kisah Para Rasul 2:1-21
Bacaan Injil: Yohanes 7:37-39
DASAR PEMIKIRAN
Perjalanan kehidupan manusia ibarat dalam kembara di padang belantara. Ada beragam tantangan dijumpai. Tantangan-tantangan itu terkadang melelahkan. Bukan hanya fisik yang lelah, namun juga mental, psikologis, spiritualitas dan dimensi-dimensi lain. Jika kelelahan tidak diatasi, perjalanan ke depan serasa semakin berat dan sulit. Di sinilah pengembara membutuhkan penyegaran supaya memiliki kekuatan baru agar dapat terus berjalan.
Saat Yesus berada di Yerusalem untuk merayakan hari Raya Pondok Daun, Ia menawarkan penyegaran kepada banyak orang yang datang di perayaan itu. “Barangsiapa haus, baiklah ia datang keada-Ku dan minum! (Yoh. 7:37). Ia melihat suasana batin khalayak ramai yang datang di perayaan hari Raya Pondok Daun yang lelah dengan berbagai kenyataan sehari-hari. Secara politis, mereka tertindas. Dalam bidang keagamaan, mereka tertekan oleh berbagai ritual yang kaku, kering dan mengungkung. Juga dalam bidang lain, bisa jadi mereka hidup dalam tekanan sehari-hari yang melelahkan. Aliran air yang ditawarkan Yesus itu adalah Roh.
Tawaran Yesus itu diberikan bagi kita di masa kini. Ia mengerti bahwa setiap orang merasakan lelah dan haus akibat beratnya menjalani kehidupan sehari-hari. Bagi setiap orang yang mau datang kepada-Nya, menerima aliran air kehidupan dan meminumnya akan disegarkan. Roh Kudus dari Yesus menjadi sumber kekuatan bagi umat dalam menyusuri perjalanan hidup. Dengan demikian, murid-murid yang mengikut Yesus tidak hanya tahu tentang Dia serta merayakan Yesus secara ritual semata, melainkan mampu menjalani hidup sehari-hari dengan segala dimanika dan pergumulannya. Kekuatan Roh memberi penyegaran, kekuatan dan kehidupan. Oleh karena itu, di ibadah Pentakosta ini umat diharap dapat memahami makna menerima aliran hidup dari Roh serta mewujudkan kehidupan sehari-hari dalam aliran Roh yang menghidupkan.
PENJELASAN TEKS
Bilangan 11:24-30
Dalam perjalanan dari Mesir menuju tanah perjanjian, Musa mengalami pergumulan batin. Salah satu pergumulan batin itu tampak dalam peristiwa pemberian daging burung puyuh kepada umat Israel selama “sebulan penuh”. Musa merasa hal itu berat. Beban yang dirasa terlalu berat ini menyebabkan Musa berseru kepada Tuhan. Ia memohon supaya Tuhan membunuhnya saja. Musa merasa tidak sanggup memenuhi permintaan umatnya (Bil 11:15). Padahal, maksud Tuhan tidak begitu. Musa tidak disuruh menyediakan daging bagi Israel. Tuhan sendirilah yang akan menyediakannya (Bil 11:23). Kemudian Tuhan memang benar-benar mengirimkan burung puyuh. Jumlahnya sangat banyak. Namun, ketika melihat kerakusan umat-Nya, Tuhan memurkai mereka dengan tulah besar. Mereka yang rakus, mati selagi mulutnya masih mengunyah daging (Bil 11: 31-35).
Isi dialog antara Musa denga Tuhan yang kedua adalah soal kepemimpinan. Musa mengeluhkan bebannya yang sangat berat, dan berkata: “Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggungjawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku” (Bil 11:13-14). Keluhan Musa ini didengarkan Tuhan, sehingga Tuhan bersedia memperingan beban Musa. Ia menolong Musa dengan konsep kepemimpinan kolektif (Bil 11:23).
Dalam perikop yang menjadi bacaan hari ini, (Bil 11:24-30) rencana kepemimpinan kolektif-teokratis itu diwujudkan. Tuhan memerintahkan Musa mengumpulkan 70 tua-tua Israel dan para pemimpin pasukan untuk berkumpul di sekeliling kemah pertemuan (Bil 11:16, dan 34). Ketika mereka sudah berdiri di sekeliling kemah pertemuan, Tuhan turun dalam awan. Tuhan bertahta di tempat yang tinggi, sehingga Ia harus turun untuk menjumpai manusia di bumi. Sesudah berbicara dengan Musa, Tuhan langsung bertindak. Ia mengambil sebagian dari Roh-Nya yang hinggap pada diri Musa, dan kemudian membagikannya kepada ketujuhpuluh orang yang terpilih dari antara umat Israel untuk membantu Musa. Mereka pun langsung kepenuhan roh, seperti nabi. Roh Tuhan melengkapi mereka untuk ikut berbagi beban kepemimpinan dengan Musa.
Yang unik dalam peristiwa itu adalah bahwa ada dua orang dari antara mereka yang masuk dalam bilangan 70 orang itu tidak dapat hadir di kemah pertemuan. Walau demikian, kedua orang calon pemimpin yang terpisah itu, Eldad dan Mirdad, ternyata juga mendapat kepenuhan seperti nabi. Peristiwa ini dicermati aneh oleh seorang anak muda. Anak muda yang tidak disebutkan namanya ini berlari-lari dan memberitahukannya kepada Musa. Yosua – yang disebut sebagai abdi Musa sejak mudanya, mengetahui kabar itu dan kemudian meminta Musa untuk mencegah atau menghalangi kepenuhan Eldad dan Mirdad. Namun Musa tidak menerima permintaan Yosua. Musa malah berkata, “... Ah, kalau seluruh umat Tuhan menjadi nabi...” (ay. 29).
Apakah perkataan Musa ini adalah nubuatan? Bisa jadi. Bukankah dalam perspektif umat Kristen sekarang, setiap orang percaya dipanggil untuk menyampaikan suara kenabian? Panggilan ini berlaku bagi siapa saja tanpa terkecuali, dan suara kenabiannya harus sesuai dengan konteks hidup dan zamannya.
Mazmur 104:24-35
Kemahakuasaan Tuhan disampaikan secara puitis oleh pemazmur. Ia mempersaksikan bahwa segala sesuatu pada alam semesta ini tidak pernah lepas dari tangah Tuhan yang penuh kuasa. Bumi yang tercipta dengan segala mahluknya adalah karya Tuhan (ay 24). Laut yang luas dengan segala mahluknya (termasuk Lewiatan, yang kerap menunjuk pada kisah tentang naga laut yang jahat) adalah juga karya Tuhan (ay 25-26). Bahkan kehidupan ciptaan Tuhan, bergantung kepada Tuhan. Termasuk soal makanan (ay. 28) dan nyawa (ay 29). Sekalipun ada kata “mengirim” (ay 30), bukan berarti Pemazmur membedakan Tuhan dan Roh. Agaknya kedua karya-Nya (Tuhan dan Roh tidak dibedakan). Ketika Roh Tuhan bekerja selalu saja ada penciptaan (yang baru, Ibr: bara) dan pembaruan (perbaikan, Ibr: chadas).
Kisah Para Rasul 2:1-21
Pentakosta (dari bahasa Yunani:pentekoste/hemera) atau hari kelima puluh, secara liturgis dikenal juga dengan “Minggu Putih” merupakan peringatan dicurahkannya Roh Kudus kepada para rasul di Yerusalem, yang terjadi 50 hari setelah kebangkitan Kristus. Pada hari Pentakosta Roh Kudus dicurahkan sesuai dengan janji Yesus sesudah kenaikan-Nya ke Surga. Sebelumnya Pentakosta adalah hari raya besar orang Yahudi. Orang-orang Yahudi datang dari segala penjuru dunia ke Yerusalem untuk merayakan Shavuot atau festival panen raya. Hari Pentakosta itu juga disebut hari raya tujuh Minggu karena dilaksanakan tujuh minggu setelah Paska. Dalam tradisi Yahudi dilakukan dalam bulan Sivan atau dalam kalender Masehi sekitar bulan Mei sampai Juni.
Dalam peristiwa Pentakosta (Kis. Rasul 2:1-21), di mana semua orang berkumpul dalam satu tempat, tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. Sedangkan bagi orang-orang Yahudi yang berkumpul di Yerusalem, dari segala penjuru, apa yang terjadi dalam peristiwa Pentakosta itu membingungkan mereka. Mereka melihat dan mendengar para murid berkata-kata dalam berbagai bahasa. Bahasa yang mereka gunakan di daerah mereka masing-masing. Mereka berkata dalam bahasa Partia, Media, Elam, Penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapodokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang-orang Kreta dan orang Arab, mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah. Seorang berkata kepada yang lain: “Apakah artinya ini?” Tetapi yang lain menyindir: “mereka sedang mabuk oleh anggur manis.”
Petrus yang mendengar perkataan orang banyak itu bangkit berdiri dan menjelaskan kepada orang banyak bahwa apa yang terjadi pada para murid bukanlah dikarenakan mabuk tetapi oleh karena kuasa Roh. Inilah yang menjadi pintu masuk bagi Petrus untuk menjelaskan kembali kepada mereka tentang apa yang telah dinubuatkan nabi Yoel. Peristiwa inilah yang kemudian membuat banyak orang menjadi percaya.
Peristiwa Pentakosta dan kesediaan para murid menerima kuasa Roh Kudus serta keberanian Petrus untuk menjelaskan kepada banyak orang menjadi sarana bagi banyak orang percaya menerima kasih setia Allah. Baik mereka yang percaya pada Yesus atau tidak, semua mendapat kasih karunia Allah. Kasih setia Allah diceritakan dan dibagikan kepada seluruh bangsa. Para murid dapat berkata-kata dengan bahasa lain dan orang-orang yang mendengar perkataan para murid itu memahami perkataan para murid dengan berbagai bahasa. Melalui pencurahan Roh itu kuasa Allah dialami dan dirasakan semua orang.
Yohanes 7:37-39
Kekuatan Roh yang memberikan kesegaran hidup dinyatakan oleh Yesus dalam sabda-Nya kepada banyak orang saat merayakan pesta Pondok Daun di Yerusalem (Yoh. 7:37-39). Pada hari terakhir, yaitu puncak pesta terdapat ritual pembasuhan kaki. Ritual itu dilakukan untuk menutup rangkaian pesta. Pada saat pembasuhan itu berlangsung, Yesus memanfaatkan momentum pembasuhan dengan air untuk menyatakan siapakah diri-Nya. Ia berdiri dan berseru, “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan dalam Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup! (Yoh. 7:37-38).
Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Pernyataan itu mengingatkan kita pada tuturan Injil Yohanes dalam Yohanes 4:14, “Barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya”. Penegasan tentang Yesus sebagai air yang menghilangkan rasa haus disampaikan-Nya kepada khalayak ramai yang hidupnya membutuhkan penyegaran. Sebagaimana setiap orang akan haus dengan air, demikian juga manusia mendambakan kebenaran pewahyuan (Hadiwiyata, 2008, hlm. 113). Air digunakan secara simbolik dalam Perjanjian Lama untuk melambangkan pembersihan dan keselamatan. Dalam pesta Pondok Daun simbolisasi pembersihan itu diwujuakan. Di pesta itu Yesus memberi makna baru terhadap air yaitu sebagai penghilang dahaga. Dengan demikian, air menjadi pemulih, sekaligus sumber kehidupan. Tanpa air, kehidupan sirna dari muka bumi. Pengharapan umat akan air terpenuhi dalam diri Yesus.
Penggunaan air sebagai bahasa simbolik sangat mengena dalam konteks pembaca Injil Yohanes. Karena itu Yesus menyebut, “Barangsiapa percaya kepada-Ku sebagaimana dikatakan dalam Kitab Suci: dari dalamnya akan mengalir aliran air hidup”. Air hidup dapat bermakna “air yang mengalir”. Di situ dapat diartikan lagi sebagai “air yang memberi kehidupan”. Zakaria 14:8 menyebut bahwa air hidup akan mengalir dari Yerusalem. Yehezkiel 47:1 mengatakan bahwa air itu mengalir dari bawah ambang pintu Bait Allah. Yesus kini menyampaikan bahwa air itu akan mangalir dari diri-Nya yang adalah bait Allah yang baru (Yoh. 2:21). Semua orang yang haus diundang untuk datang pada Yesus. Dari dalam hati mereka yang datang dan minum pada Yesus akan mengalir aliran-aliran air hidup (Eko Riyadi, Pr., 2011, hlm. 193). Untuk itu air yang digambarkan sebagai Roh Kudus dapat dimaknai demikian:
Pertama, air yang cair mengisi ruang kosong dalam wadah. Apapun bentuk wadahnya, air akan mengikuti. Di sini kita menemukan sebuah makna tentang kerja Roh Kudus. Roh Kudus bekerja seturut dengan wadah yang diisinya. Itulah sebabnya surat 1 Korintus 12 berbicara soal berbagai rupa karunia Roh. Dari teks itu kita belajar bahwa kerja Roh Kudus tidaklah sama, tidak boleh sama, tidak harus sama! Kelirulah orang yang menyamakan kerja Roh Kudus.
Kedua, air di sini bukan dalam arti air yang diam. Tetapi air yang dinamis. Kata Yunaninya hudatos, yang berarti air yang mengalir di sebuah sungai. Ada dinamika, ada kerja, ada gerak, ada perubahan. Ciri kerja Roh Kudus pada seorang manusia seumpama air. Ada dinamika, ada gerak, ada kerinduan untuk mengubah diri, sehingga menjadi sempurna sama seperti Bapa yang di sorga.
Semua orang yang percaya kepada Yesus akan menerima Roh. Roh itu dicurahkan bagi mereka yang percaya pada saat Yesus dimuliakan. Yohanes 7:39 merupakan keterangan dari Yohanes pada pembaca tentang situasi sesudah kebangkitan mengenai tidak adanya Roh sebelum kebangkitan (Hadiwiyata, 2008, hlm. 114). Pandangan Yohanes mengenai pencurahan Roh ialah bahwa pemuliaan Yesus harus terpenuhi sebelum Roh diberikan (Yoh. 16:7). Pengalaman orang Kristen mengenai Roh bagi Yohanes secara hakiki merupakan kelanjutan dari karya Kristus. Dengan demikian, apa yang dikatakan Yesus ini merupakan antisipasi tentang Penghibur yang akan disampaikan oleh Yesus secara panjang lebar dalam khotbah perpisahan-Nya dengan murid-murid-Nya kemudian (Yoh. 14:15 – 31; 16:4b-15). Di sana disabdakan oleh Yesus bahwa jika Ia pergi, Ia akan mengutus Roh kepada para murid. Berkat Roh itu mereka menjadi percaya pada Yesus, ikut dalam kemuliaan Kristus. Mereka akan menimba air hidup dari sumber yang tidak pernah mengering, terus menerima aliran hidup dari Roh untuk hidup.
Upaya membuka diri terhadap karya Roh dilakukan dengan mengosongkan diri dan membuka diri untuk dipenuhi dengan karya Roh. Pengosongan diri dan keterbukaan pada karya Roh merupakan sikap hidup yang rendah hati. Kerendahan hati ibarat bejana yang kosong dan siap menerima aliran-aliran air untuk dimasukkan ke dalamnya.
BERITA YANG MAU DISAMPAIKAN
Tuhan Yesus bersabda, “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” (Yoh 7:37). Kata barangsiapa menunjuk pada setiap orang (semua orang). Dengan mengatakan hal itu, Tuhan Yesus menyebutkan bahwa semua orang bisa bertemu dengan Dia. Hal itu menunjukkan bahwa karya-Nya bukan hanya bagi kalangan, bangsa atau agama tertentu. Ia membuka diri bagi semua orang yang merasakan hidupnya dalam kehausan. Dalam perspektif masa kini, kata kehausan sangat kaya makna. Intinya, kata itu menunjuk pada situasi hidup yang berat dan sangat membutuhkan pertolongan dengan segera. Penulis Injil Yohanes menerangkan bahwa air hidup yang dimaksud oleh Tuhan Yesus adalah Roh Allah, yang akan datang setelah Yesus dimuliakan. Dengan mengacu pada sabda Tuhan Yesus itu, umat mendapat pesan bahwa Roh Kudus adalah kekuatan yang memulihkan. Murid-murid Yesus mendapat pemulihan dalam hidupnya sehingga memahami gerak Roh yang membuat mereka berani memberitakan kasih Tuhan. Dalam kehidupan masa kini, Roh yang sama memberi kekuatan baru agar umat hidup dalam Dia yang menyatakan kasih. Dengan membuka diri bagi karya Roh, umat mengalami aliran Roh yang memulihkan kehidupan.
KHOTBAH JANGKEP
Menerima Aliran Hidup dari Roh
Kita kerap mendengar berbagai pengibaratan tentang kehidupan. Salah satu pengibaratan tentang kehidupan menyebutkan bahwa hidup itu ibarat sebuah pengembaraan. Gambaran kehidupan sebagai pengembaraan mengandung makna bahwa dalam menjalani hidupnya, seseorang digambarkan seperti seorang musafir. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan kehidupan. Ketika menyusuri jalan-jalan itu, ia berjumpa dengan berbagai peristiwa. Kadang peristiwa menyenangkan, kadang menyedihkan. Ada kalanya mempunyai bekal berlimpah, namun tidak jarang mengalami kekurangan. Proses kembara hidup bisa jadi membuat seorang musafir mengalami kelelahan. Kelelahan itu bisa menimpa fisik, mental, bahkan spiritual. Apabila kelelahan itu tidak diatasi, si pengembara tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan.
Kehidupan manusia di zaman ini tidak lepas dari berbagai kelelahan. Banyak jiwa-jiwa mengalami kelelahan dan perlu disegarkan. Liputan 6.com tanggal 3 Agustus 2019 dengan melansir dari Brightside.com menyebutkan bahwa saat ini banyak orang mengalami kelelahan jiwa. Enam pertanda kelelahan jiwa itu antara lain: (1) Lelah setelah tidur semalaman. Tidur mestinya menjadikan tubuh kembali segar. Namun bagi yang jiwanya lelah, saat bangun tidur justru tubuh terasa lelah. (2) Melamun dan melarikan diri dari kenyataan. Kelelahan ini menjadikan seseorang seperti memikirkan masa lalu dan takut akan masa depan. Hal utamanya adalah bahwa sesorang tidak menyukai momen saat ini dan mencoba mengalihkan perhatian darinya dengan segala cara yang memungkinkan. (3) Emosi berubah-ubah. Ketidakpuasan, kelelahan, dan ketidakpedulian dapat memengaruhi emosi. Sering marah, tersinggung terhadap sesuatu yang kecil, menangis atau tertawa tanpa alasan juga menjadi salah satu jiwa sesorang lelah. Hidup menjadi lebih sulit dengan emosional tersebut dan memaksa untuk mencari konflik lebih dari sekadar berusaha mencapai kedamaian dan pemahaman dengan orang lain. (4) Menutupi kesedihan. Kelelahan jiwa menjadikan seseorang tidak mau membuka diri, termasuk terhadap kesedihan yang dialaminya. Menutupi kesedihan makin membuat jiwa terbeban. (5) Keinginan untuk bersembunyi dari orang lain karena merasa perjumpaan merupakan hal yang mengganggu. (6) Berpikir negatif. Kelelahan jiwa memicu seseorang berpikir negatif tentang dirinya, sesama dan kehidupan yang dijalani.
Ketika Tuhan Yesus berada di Yerusalem untuk merayakan hari Raya Pondok Daun, Ia melihat suasana batin khalayak ramai yang datang di perayaan hari Raya Pondok Daun itu. Mereka tampak lelah dengan berbagai kenyataan sehari-hari. Secara politis, mereka tertindas. Dalam bidang keagamaan, mereka tertekan oleh berbagai ritual yang kaku, kering dan mengungkung. Juga dalam bidang lain, bisa jadi mereka hidup dalam tekanan sehari-hari yang melelahkan. Melihat kelelahan dari khalayak ramai itu Tuhan Yesus menawarkan penyegaran kepada mereka. “Barangsiapa haus, baiklah ia datang keada-Ku dan minum! (Yoh. 7:37). Aliran air yang ditawarkan Yesus itu adalah Roh. Air digunakan secara simbolik dalam Perjanjian Lama untuk melambangkan pembersihan dan keselamatan. Dalam pesta Pondok Daun simbolisasi pembersihan itu diwujuakan. Di pesta itu Yesus memberi makna baru terhadap air yaitu sebagai penghilang dahaga. Dengan demikian, air menjadi pemulih, sekaligus sumber kehidupan. Tanpa air, kehidupan sirna dari muka bumi. Pengharapan umat akan air terpenuhi dalam diri Yesus.
Penggunaan air sebagai bahasa simbolik sangat mengena dalam konteks pembaca Injil Yohanes. Karena itu Yesus menyebut, “Barangsiapa percaya kepada-Ku sebagaimana dikatakan dalam Kitab Suci: dari dalamnya akan mengalir aliran air hidup”. Air hidup dapat bermakna “air yang mengalir”. Di situ dapat diartikan lagi sebagai “air yang memberi kehidupan”. Zakaria 14:8 menyebut bahwa air hidup akan mengalir dari Yerusalem. Yehezkiel 47:1 mengatakan bahwa air itu mengalir dari bawah ambang pintu Bait Allah. Yesus kini menyampaikan bahwa air itu akan mangalir dari diri-Nya yang adalah bait Allah yang baru (Yoh. 2:21). Semua orang yang haus diundang untuk datang pada Yesus. Dari dalam hati mereka yang datang dan minum pada Yesus akan mengalir aliran-aliran air hidup untuk itu air yang digambarkan sebagai Roh Kudus dapat dimaknai demikian:
Pertama, air yang cair mengisi ruang kosong dalam wadah. Apapun bentuk wadahnya, air akan mengikuti. Di sini kita menemukan sebuah makna tentang kerja Roh Kudus. Roh Kudus bekerja seturut dengan wadah yang diisinya. Itulah sebabnya surat 1 Korintus 12 berbicara soal berbagai rupa karunia Roh. Dari teks itu kita belajar bahwa kerja Roh Kudus tidaklah sama, tidak boleh sama, tidak harus sama! Kelirulah orang yang menyamakan kerja Roh Kudus.
Kedua, air di sini bukan dalam arti air yang diam. Namun air yang dinamis. Kata Yunaninya hudatos, yang berarti air yang mengalir di sebuah sungai. Ada dinamika, ada kerja, ada gerak, ada perubahan. Ciri kerja Roh Kudus pada seorang manusia seumpama air. Ada dinamika, ada gerak, ada kerinduan untuk mengubah diri, sehingga menjadi sempurna sama seperti Bapa yang di sorga.
Semua orang yang percaya kepada Yesus akan menerima Roh. Roh itu dicurahkan bagi mereka yang percaya pada saat Yesus dimuliakan. Mereka akan menimba air hidup dari sumber yang tidak pernah mengering, terus menerima aliran hidup dari Roh untuk hidup. Dengan menerima aliran itu kehidupan disegarkan, dipulihkan dan kehidupan dilanjutkan di masa mendatang dengan penuh pengharapan.
Tawaran Yesus itu diberikan bagi kita di masa kini. Ia mengerti bahwa setiap orang merasakan lelah dan haus akibat beratnya menjalani kehidupan sehari-hari. Bagi setiap orang yang mau datang kepada-Nya, menerima aliran air kehidupan dan meminumnya akan disegarkan. Roh Kudus dari Yesus menjadi sumber kekuatan bagi umat dalam menyusuri perjalanan hidup. Dengan demikian, murid-murid yang mengikut Yesus tidak hanya tahu tentang Dia serta merayakan Yesus secara ritual semata, melainkan mampu menjalani hidup sehari-hari dengan segala dimanika dan pergumulannya. Kekuatan Roh memberi penyegaran, kekuatan dan kehidupan. Karena itu, bukalah hati, bukalah kehidupan. Biarlah aliran Roh itu memenuhi kehidupan kita. Jangan kerasakan hati dan merasa mampu mengatasi segala sesuatu dengan kemampuan kita sendiri. Upaya membuka diri terhadap karya Roh dilakukan dengan pengosongan diri serta membuka diri untuk dipenuhi dengan karya Roh. Pengosongan diri dan keterbukaan pada karya Roh merupakan sikap hidup yang rendah hati. Kerendahan hati ibarat bejana kosong dan siap menerima aliran-aliran air untuk dimasukkan ke dalamnya. Bukalah hati, jadilah tenang dan persilahkan Roh Kudus memulihkan kehidupan. Amin.