TEMA PERAYAAN IMAN
Beriman: Bersaksi dan Berkarya bagi Tuhan
TUJUAN
Umat terus menghidupi dan memelihara imannya kepada Tuhan, diikuti dengan kesediaan mewujudnyatakan iman dengan bersaksi dan berkarya bagi Tuhan.
DAFTAR BACAAN
Bacaan I : Kisah Para Rasul 7: 55-60
Mazmur : Mazmur 31:1-5, 15-16
Bacaan II : 1 Petrus 2:2-10
Bacaan Injil : Yohanes 14: 1-14
DAFTAR AYAT PENDUKUNG LITURGI
Berita Anugerah : 1 Petrus 1:3-5
Petunjuk Hidup Baru : 1 Korintus 15: 58
Persembahan : Efesus 5: 20-21
DAFTAR NYANYIAN PENDUKUNG LITURGI
Bahasa Indonesia:
Nyanyian Pujian : KJ 8: 1, 2
Nyanyian Penyesalan : KJ 23: 1, 2
Nyanyian Kesanggupan : KJ 370: 1, 3
Nyanyian Persembahan : KJ 367: 1-
Nyanyian Pengutusan : KJ 424: 1, 4
Bahasa Jawa
Nyanyian Pujian : KPJ 27: 1, 2
Nyanyian Penyesalan : KPJ 52: 1, 3
Nyanyian Kesanggupan : KPJ 106: 1, 2
Nyanyian Persembahan : KPJ 186: 1-
Nyanyian Pengutusan : KPJ 441
DASAR PEMIKIRAN
Di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, kita memilih untuk menjadi orang Kristen, yaitu orang yang beriman dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memaknai dan menghidupi iman dan percaya kita tersebut? Apakah iman itu hanya menjadi sebuah pengakuan di mulut dan sama sekali tidak berdampak dalam kehidupan kita secara pribadi maupun dalam relasi dengan orang lain? Beriman tidak sekedar percaya. Beriman berarti berani mempercayakan dan mempersembahkan hidup kepada yang diimani itu. Begitu pula beriman kepada Yesus. Dalam berbagai kondisi hidup, iman itu harus terus dipelihara dan dipegang teguh. Di sisi lain, iman mendorong untuk bersaksi dan berkarya bagi Dia. Itu artinya, beriman berarti juga melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Yesus, memberitakan perbuatan besar dari Allah, sehingga semakin banyak orang mengenal cinta kasih, berkat, dan keselamatan dari Allah melalui Yesus.
KETERANGAN BACAAN
Kisah Para Rasul 7: 55-60
Perikop ini merupakan bagian akhir dari kisah Stefanus. Nama Stefanus muncul pertama kali pada Kisah Para Rasul 6:5 sebagai salah seorang dari tujuh orang yang dipilih untuk melayani janda-janda/orang-orang miskin. Stefanus adalah seorang yang penuh iman dan Roh Kudus (6:5) serta penuh karunia dan kuasa (6:8). Stefanus tidak hanya melayani orang-orang miskin. Ia juga mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang menyebabkan dia harus berurusan dengan orang-orang Yahudi. Karena kalah dalam perdebatan, orang-orang Yahudi menghasut beberapa orang untuk menuduh Stefanus telah menghujat Musa dan Allah – suatu alasan yang dapat menyeret Stefanus ke pengadilan Mahkamah Agama (Sanhedrin). Dalam pengadilan itu tuduhan terhadap Stefanus makin melebar, yaitu bahwa ia telah menghina Bait Suci dan hukum Taurat, yang dikaitkan dengan kesaksiannya tentang Yesus yang akan meruntuhkan Bait Suci dan mengubah adat-istiadat Yahudi. Dalam pembelaannya Stefanus berkhotbah panjang lebar mulai dari Abraham sampai nabi-nabi yang dibunuh oleh orang-orang Yahudi, yang berpuncak pada pembunuhan terhadap Yesus (7:1-53)
Pada bagian akhir pembelaannya, dengan tajam Stefanus mengkritik orang-orang Yahudi sebagai orang-orang yang telah menerima Hukum Taurat tetapi tidak menurutinya (ayat 53). Kata-kata inilah yang membuat orang Yahudi “tertusuk hati”, sehingga menyambut Stefanus dengan “gertakan gigi” – ekspresi yang menggambarkan kemarahan yang luar biasa (ayat 54). Lebih dari itu Stefanus pun dituduh telah menghujat Allah dengan kesaksiannya dan harus diganjar dengan hukuman rajam (hukuman mati ala Yahudi, yaitu dengan dilempari batu sampai mati). Batu sudah siap di genggaman tangan-tangan orang yang mengaku beriman dan siap membela agamanya. Kebencian sudah di ubun-ubun mereka. Kematian ada di depan mata Stefanus. Namun, kita bisa merasakan getaran iman yang menopang diri Stefanus itu. Tidak gentar, apalagi goyah. Imannya kepada Kristus yang bangkit itu membuatnya tetap tegar dan tenang. Bahkan dalam kondisi itu ia dapat melihat sosok yang dipercayainya itu sungguh hadir. Ia berkata, “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah” (Kisah Rasul 7:56).
Stefanus tidak mempersoalkan mengapa sosok yang dipercayainya itu membiarkan dirinya dianiaya dan diperlakukan tidak adil. Ia tidak mengugat “di manakah Engkau, Tuhan?” saat batu-batu yang dilemparkan oleh orang-orang yang mengaku bertuhan dan beragama satu demi satu menghujam tubuhnya.
Baginya sudah cukup Tuhan menjaga hatinya tetap bersih. Sekalipun ajal menjemputnya, Stefanus tidak mengutuk bahkan ia mampu berdoa, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dengan perkataan itu, meninggallah ia (Kis.7:60). Stefanus telah mengajar kita tentang iman yang memberikan kekuatan untuk terus bertahan dalam kebenaran yang Tuhan ajarkan. Iman yang memberikan keberanian untuk bersaksi dan berkarya bagi Tuhan, meskipun harus menghadapi resiko dan tantangan yang tidak ringan. Iman yang terpelihara dengan baik sampai ajal menjemput.
Mazmur 31:1-5, 15-16
Mazmur ini merupakan nyanyian Daud di mana ia menumpahkan rasa percayanya kepada Tuhan. Ia dengan lugas memaparkan mengapa ia menaruh percayanya pada Tuhan:
a. Tuhan adalah bukit batu dan pertahanan. Ia akan menuntun dan membimbing (ayat 4)
Bukit batu adalah perlindungan dan pertahanan yang sangat kokoh. Karena itu, berbeka pengalamannya dalam berperang, Daud membayangkan bahwa Tuhan itu seumpama bukit batu. Tak mudah untuk dikalahkan. Menuntun dan membimbing adalah salah satu wujud kasih dan kepedulian seorang bapak kepada anaknya. Dengan menuntun, maka seorang anak selalu dipegang tangannya oleh sang bapak. Ini memberi rasa aman dan nyaman sejati. Si anak akan tahu bahwa ia selalu dalam perlindungan bapaknya. Ia juga dibimbing agar tak tersesat. Jalan yang ditempuh adalah jalan yang benar.
b. Tuhan akan mengeluarkannya dari jaring (ayat 5)
Jaring biasanya dipakai oleh para nelayan untuk menangkap ikan. Setiap ikan yang tertangkap dalam jarring tak bisa berbuat apa-apa. Seperti ikan yang tertangkap dalam jarring, begitulah situasi hidup manusia yang juga terperangkap dalam berbagai situasi yang sulit. Tak ada jalan keluar. Namun Tuhan tak pernah membiarkan umat-Nya terus terperangkap dalam jaring. Ia akan mengeluarkan umat dari jaring. Ini semua menunjukkan kasih setia-Nya yang besar.
c. Tuhan membebaskan (ayat 16)
Tuhan juga membebaskan umat. Jika Tuhan membebaskan umat, maka pembebasan yang diberikan adalah pembebasan yang utuh. Pembebasan yang memungkinkan umat untuk terus melanjutkan kehidupan dengan baik dalam kegairahan. Hidup menjadi bermakna dan berharga. Inilah keyakinan yang dimiliki Daud terhadap Tuhan.
1 Petrus 2:2-10
Perikop 1 Petrus 2: 1-10 merupakan suatu ajakan kepada jemaat untuk berpegang pada karunia kelahiran kembali yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka, serta berpegang pada pengharapan di tengah-tengah penderitaan masa kini selaku pengikut Kristus. Perikop ini dapat dibagi sebagai berikut:
Ayat 1 : membuang cara hidup manusia lama
Ayat 2-3 : seperti bayi yang selalu ingin air susu ibu
Ayat 4, 6-8 : datang kepada Yesus Sang batu penjuru
Ayat 5, 9-10 : jemaat dipanggil untuk memberitakan perbuatan-
perbuatan besar dari Allah
Ayat 1 mengajak jemaat meninggalkan kehidupan yang penuh:
- Kejahatan (Yun: kakia, yang berarti kejahatan, keinginan yang buruk untuk melukai, kemarahan yang luar biasa, dan sikap tidak malu melanggar hukum)
- Tipu muslihat (Yun: dolos, yang berarti kejahatan melalui kata-kata, penipuan, kebohongan, ketidakjujuran, akal bulus, tipu muslihat)
- Kemunafikan (Yun: hupokrisis, yang berarti kemunafikan, penipuan, kepura-puraan)
- Kedengkian (Yun: phthonos, yang berarti iri)
- Fitnah (Yun: katalalia, yang berarti kata-kata yang jahat)
Daftar ini menggambarkan realita kehidupan jemaat penerima surat 1 Petrus. Dengan meninggalkan kehidupan yang lama ini bukan berarti hidup mereka akan menjadi baik. Justru mereka akan menghadapi berbagai fitnah dan penganiayaan. Karena itu sejak awal jemaat dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya hal yang buruk sebagai akibat dari pertobatan mereka (band. 2:12, 15; 3:16). Di ayat 2-3, Petrus meminta mereka untuk “memeriksa” kebaikan Tuhan yang sudah mereka alami. Jika sudah merasakan kebaikan Tuhan maka hal itu mestinya ditunjukkan melalui sikap hidup yang selalu ingin dekat Tuhan. seperti bayi yang selalu ingin air susu ibu, begitulah orang yang sudah mengecap kebaikan Tuhan.
Di ayat 4, 6 dan 8 Petrus mengingatkan umat bahwa Yesus adalah batu penjuru. Setiap bangunan memerlukan batu penjuru yang akan menjadi titik pusat dari seluruh bangunan tersebut. Dengan demikian seluruh bangunan ditentukan oleh batu penjuru tersebut. Begitulah hidup setiap orang Kristen harus dipusatkan dan dipercayakan pada Yesus. Hal ini tidak mudah sebab pada saat yang sama ada orang-orang yang justru menempatkan Yesus sebagai batu sandungan. Mereka itu adalah orang-orang yang tidak bersedia taat pada Firman Allah (8). Jadi, setiap orang yang menjadikan Yesus sebagai batu penjuru mesti menunjukkan sikap hidup yang sesuai dengan Firman Allah. Pada saat yang sama, orang-orang percaya tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Bila orang percaya menjadi batu sandungan, maka mereka akan membuat orang jauh dari Yesus.
Di ayat 5, 9 dan 10 diungkapkan bahwa panggilan setiap orang percaya bukan menjadi batu sandungan, melainkan menjadi batu hidup. Menjadi batu hidup berarti memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Allah dan memberitakan kebaikan Allah dalam hidup umatNya. Pada saat itulah umat sedang mempersaksikan iman percaya dan keyakinannya terhadap Allah. Dengan kata lain, umat Tuhan yang sudah merasakan dan mengalami perbuatan-perbuatan Tuhan yang besar, yang membawa mereka keluar dari kegelapan menuju terang, dipanggil untuk menjadi saksi karya Tuhan itu dan memberitakannya kepada orang lain.
Yohanes 14: 1-14
Yesus memberikan pengajaran kepada para murid-Nya melalui berbagai cara. Pengajaran itu bisa disertai dengan mujizat atau tanda, namun juga terjadi lewat dialog, misalnya tentang “Rumah Bapa”, seperti dalam perikop Yohanes 14: 1-14 ini. Dalam dialog tentang Rumah Bapa, Yesus meneguhkan hati para murid agar mereka tidak gelisah ketika sebentar lagi mereka harus berpisah dengan Yesus. Satu hal yang harus diimani para murid adalah bahwa kepergian Yesus itu justeru akan menyiapkan tempat terbaik untuk para murid kelak, dan inilah jaminan masa depan buat para murid. Namun, di pihak lain kepergian Yesus itu memberi kesempatan bagi para murid untuk belajar memelihara iman dalam keadaan yang sebenarnya. Yesus memberitahukan kepada mereka tentang kepergiannya kepada Bapa, karena itu para murid tahu kemana Yesus pergi. Tempat di mana Yesus berada (rumah Bapa) merupakan tujuan setiap orang yang percaya kepada-Nya.
Namun demikian, mereka tidak mengerti. Setidaknya hal ini terungkap dari ucapan Tomas, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” Pertanyaan ini membuka kesempatan bagi Yesus untuk menyatakan diri sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup. Yesus adalah Jalan yang membawa orang kepada Bapa. Yesus tidak hanya menunjukkan jalan tertentu yang harus dilewati sebagaimana dipahami Tomas. Dialah satu-satunya jalan menuju Bapa. Dalam kapasitasnya sebagai Sang Jalan itulah, Ia juga adalah Kebenaran dan Hidup. Jalan itu benar karena mengantar pada tujuan yang sejati. Dia bisa dipercaya dan orang dapat mempercayakan diri kepada-Nya. Dan Jalan itu adalah Hidup karena membawa orang kepada kehidupan yang sesungguhnya. Dengan demikian setiap orang yang menghendaki kehidupan kekal maka harus menempuh dan melalui Sang Jalan itu. Mengenal Sang Jalan bukan hanya sekedar percaya saja, melainkan menerima, menjalani, mempercayakan diri dan mengimani. Orang yang percaya itu akan hidup melalui apa yang ia percaya.
Pernyataan Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup” sungguh-sungguh menguatkan kita bahwa arah dan tujuan hidup percaya itu jelas. Namun pernyataan Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup” tidak berarti lalu membuat kita bersikap tertutup terhadap yang lain. Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan” (Yoh. 14:12a). Dalam hal ini orang-orang yang percaya kepada Yesus tidak hanya menerima keselamatan secara pasif, namun mereka juga harus melakukan “pekerjaan” (Yunani: ergon) yang menujuk pada pekerjaan yang membawa keselamatan dan berkat bagi orang lain. Itu artinya, iman itu harus ditunjukkan lewat kesediaan kita melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Yesus. Dengan kata lain, kehidupan orang percaya di dunia in adalah kesaksian akan iman kita kepada Yesus.
POKOK DAN ARAH PEWARTAAN
Pokok pewartaan Firman Tuhan Minggu ini mendorong setiap orang percaya untuk berefleksi dan meneguhkan kembali makna “beriman”. Belajar dari Stefanus dan Yesus, orang percaya hendaknya mampu menghidupi imannya dengan sungguh-sungguh. Stefanus telah mengajar kita tentang iman yang memberikan kekuatan untuk terus bertahan dalam kebenaran yang Tuhan ajarkan. Iman yang memberikan keberanian untuk bersaksi dan berkarya bagi Tuhan, meskipun harus menghadapi risiko dan tantangan yang tidak ringan. Iman yang terpelihara dengan baik sampai ajal menjemput. Iman itu memberikan daya kekuatan bagi orang percaya, dalam menjalani kehidupan di dunia ini, juga dalam melakukan karya yang Tuhan percayakan. Yesus sendiri juga menegaskan, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan” (Yoh. 14:12a). Dalam hal ini orang-orang yang percaya kepada Yesus tidak hanya menerima keselamatan secara pasif, namun mereka juga harus melakukan “pekerjaan” (Yunani: ergon) yang menujuk pada pekerjaan yang membawa keselamatan dan berkat bagi orang lain. Jelas, bahwa beriman itu berarti bersaksi dan berkarya bagi Tuhan.
KHOTBAH JANGKEP BAHASA INDONESIA
BERIMAN: BERSAKSI DAN BERKARYA BAGI TUHAN
Di kalangan jemaat GKJ, dikenal sebuah lagu Jawa dari Kidung Pasamuwan Kristen, yang sebagian liriknya demikian:
Amung kumandel iku uwiting karosanku
Amung kumandel iku etuking kraharjanku
Aku dhatan kuwatir, Pangeran pepujanku
Allah dadi kraharjanku, uwiting karosanku
Lagu tersebut merupakan lagu dari KPK (Lama) no. 127 yang judulnya “Pangandel”. Seorang warga jemaat memberikan kesaksian bahwa lagu itu menjadi lagu favoritnya karena ia mengamini bahwa iman itu betul-betul menjadi kekuatan ketika menghadapi berbagai pergumulan hidup. Tanpa iman, maka ia akan mudah kalah dan menyerah dalam menjalani hidup sebagai anak Tuhan, juga cepat menyerah dalam melakukan karya pelayanan. Iman memang menjadi daya kekuatan bagi orang percaya. Namun justru di sinilah persoalannya. Banyak orang mengaku beriman dan percaya kepada Tuhan, namun ketika diperhadapkan dengan ancaman dan kemelut hidup, imannya tidak mampu menopang.
Harus kita sadari bahwa kita hidup bersama dan mengalami perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda suku, budaya, juga agama. Dalam masyarakat yang majemuk itu, kita memilih untuk menjadi orang Kristen, yaitu orang yang beriman kepada Tuhan Yesus Kristus. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita memaknai dan menghidupi iman percaya kita tersebut?
Dalam hal beriman, ada banyak teladan dalam Alkitab. Stefanus adalah salah satu contohnya. Kisah Para Rasul pasal 6 dan 7 mencatat bahwa Stefanus adalah seorang yang penuh iman dan Roh Kudus (6:5; 7:55), penuh karunia dan kuasa (6:8). Imannya kepada Tuhan tidak sekedar menjadi pengakuan pribadi, namun diwujudnyatakan dalam karya pelayanan dan kesaksiannya. Stefanus tidak hanya melayani orang-orang miskin; ia juga mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda, yang menyebabkan dia harus berurusan dengan orang-orang Yahudi. Karena kalah dalam perdebatan, orang-orang Yahudi menghasut beberapa orang untuk menuduh Stefanus telah menghujat Musa dan Allah – suatu alasan yang dapat menyeret Stefanus ke pengadilan Mahkamah Agama. Dalam pengadilan itu tuduhan terhadap Stefanus makin melebar, yaitu bahwa ia telah menghina Bait Suci dan hukum Taurat, yang dikaitkan dengan kesaksiannya tentang Yesus yang akan meruntuhkan Bait Suci dan mengubah adat-istiadat Yahudi.
Dalam pembelaannya Stefanus berkhotbah panjang lebar mulai dari Abraham sampai nabi-nabi yang dibunuh oleh orang-orang Yahudi, yang berpuncak pada pembunuhan terhadap Yesus (7:1-53). Pada bagian akhir pembelaannya, dengan tajam Stefanus mengritik orang-orang Yahudi sebagai orang-orang yang telah menerima Hukum Taurat tetapi tidak menurutinya (ayat 53). Kata-kata inilah yang membuat orang Yahudi “tertusuk hati”, sehingga menyambut Stefanus dengan “gertakan gigi” – ekspresi yang menggambarkan kemarahan yang luar biasa (ayat 54). Lebih dari itu Stefanus pun dituduh telah menghujat Allah dengan kesaksiannya, dan harus diganjar dengan hukuman rajam (hukuman mati ala Yahudi, yaitu dengan dilempari batu sampai mati). Batu sudah siap di genggaman tangan-tangan orang yang mengaku beriman dan siap membela agamanya. Kebencian sudah di ubun-ubun mereka. Kematian ada di depan mata Stefanus. Namun, kita bisa merasakan getaran iman yang menopang diri Stefanus itu. Tidak gentar, apalagi goyah. Imannya kepada Kristus yang bangkit itu membuatnya tetap tegar dan tenang. Bahkan dalam kondisi itu ia dapat melihat sosok yang dipercayainya itu sungguh hadir. Ia berkata, “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kisah Rasul 7:56).
Stefanus tidak mempersoalkan kenapa sosok yang dipercayainya itu membiarkan dirinya dianiaya dan diperlakukan tidak adil. Ia tidak mengugat “di manakah Engkau, Tuhan?” saat batu-batu yang dilemparkan oleh orang-orang yang mengaku bertuhan dan beragama satu demi satu menghujam tubuhnya. Baginya sudah cukup Tuhan menjaga hatinya tetap bersih, sekalipun ajal menjemputnya, Stefanus tidak mengutuk bahkan ia mampu berdoa, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dengan perkataan itu, meninggallah ia (Kis.7:60). Stefanus telah mengajar kita tentang iman yang memberikan kekuatan untuk terus bertahan dalam kebenaran yang Tuhan ajarkan. Iman yang memberikan keberanian untuk bersaksi dan berkarya bagi Tuhan, meskipun harus menghadapi resiko dan tantangan yang tidak ringan. Iman yang terpelihara dengan baik sampai ajal menjemput.
Apakah kita bisa memiliki iman seperti itu? Ya, sangat mungkin! Yesus berulang kali mengajarkan iman seperti itu kepada para murid, meskipun mereka lamban menerima pengajaran itu. Pengajaran itu bisa disertai dengan mujizat atau tanda, namun juga terjadi lewat dialog, misalnya tentang “Rumah Bapa.” Seperti dalam bacaan Injil Yohanes 14: 1-14 yang kita baca tadi. Kesemuanya itu jelas, tujuannya agar para murid mempunyai iman. Iman yang sebenarnya, bukan iman “lipstik” atau iman “aksesoris imitasi” yang sebentar bisa luntur dan kusam.
Dalam dialog tentang Rumah Bapa, Yesus meneguhkan hati para murid agar mereka tidak gelisah ketika sebentar lagi mereka harus berpisah dengan Yesus. Satu hal yang harus diimani para murid adalah bahwa kepergian Yesus itu justru akan menyiapkan tempat terbaik untuk para murid kelak, dan inilah jaminan masa depan buat para murid. Namun, di pihak lain kepergian Yesus itu memberi kesempatan bagi para murid untuk belajar memelihara iman dalam keadaan yang sebenarnya. Yesus memberitahukan kepada mereka tentang kepergiannya kepada Bapa, karena itu para murid tahu kemana Yesus pergi. Tempat di mana Yesus berada (rumah Bapa) merupakan tujuan setiap orang yang percaya kepada-Nya. Namun demikian, mereka tidak mengerti. Setidaknya hal ini terungkap dari ucapan Tomas, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” Pertanyaan ini membuka kesempatan bagi Yesus untuk menyatakan diri sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup.
Yesus adalah Jalan yang membawa orang kepada Bapa. Yesus tidak hanya menunjukkan jalan tertentu yang harus dilewati sebagaimana dipahami Tomas. Dialah satu-satunya jalan menuju Bapa. Dalam kapasitasnya sebagai Sang Jalan itulah, Ia juga adalah Kebenaran dan Hidup. Jalan itu benar karena mengantar pada tujuan yang sejati. Dia bisa dipercaya dan orang dapat mempercayakan diri kepada-Nya. Dan Jalan itu adalah Hidup karena membawa orang kepada kehidupan yang sesungguhnya. Dengan demikian setiap orang yang menghendaki kehidupan kekal maka harus menempuh dan melalui Sang Jalan itu. Mengenal Sang Jalan bukan hanya sekedar percaya saja, melainkan menerima, menjalani, mempercayakan diri dan mengimani. Orang yang percaya itu akan hidup melalui apa yang ia percaya.
Jadi, ketika seseorang beriman/mempercayakan diri kepada Kristus, itu artinya ia sedang berada di dalam Jalan Kebenaran itu, Jalan yang menuntun kepada kehidupan, bukan kematian. Mungkin saja tampaknya seperti Stefanus yang berhadapan dengan maut, sepertinya jalan itu jalan yang terjal dan menghadapi kematian. Namun, seseorang akan merasa tegar bahkan dia akan bisa tersenyum sekalipun di tengah badai, andaikan saja ia punya iman yang sesungguhnya! Apakah iman seperti itu yang sekarang kita pelihara? Ataukah iman yang hanya memanjakan keinginan kita, di mana ada keinginan yang terpenuhi barulah di situ ada iman? Apa yang menjadi bukti kita sebagai seorang yang layak menyandang “orang yang beriman”?
Pernyataan Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup” sungguh-sungguh menguatkan kita bahwa arah dan tujuan hidup kita sebagai orang beriman itu jelas. Oleh karena itu, seharusnyalah kita terus memegang teguh iman percaya kita kepada Yesus, dalam segala keadaan. Ketika menghadapi tantangan, penderitaan, dan penggodaan, maka iman itu justru harus bisa menopang dan memberi kekuatan. Tidak sebaliknya, tantangan dan penderitaan justru membuat kita melepaskan iman. Di sisi lain, pernyataan Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup” tidak berarti lalu membuat kita bersikap tertutup terhadap yang lain.
Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan” (Yoh. 14:12a). Dalam hal ini orang-orang yang percaya kepada Yesus tidak hanya menerima keselamatan secara pasif, namun mereka juga harus melakukan “pekerjaan” yang menujuk pada pekerjaan yang membawa keselamatan dan berkat bagi orang lain. Itu artinya, iman itu harus ditunjukkan melalui kesediaan kita melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Yesus. Dengan kata lain, kehidupan orang percaya di dunia ini adalah kesaksian akan iman kita kepada Yesus.
Kita harus menjadi orang Kristen yang ngristeni. Tidak hanya ketoke Kristen alias kelihatannya Kristen; tetapi harus menjalani hidup sebagai orang Kristen yang sejati. Bukan sekedar berani berkata, “Aku ini orang Kristen”, tidak cuma sering berucap “Puji Tuhan”. namun sikap hidupnya sungguh-sungguh meneladani Kristus. Tatkala orang suka menebar fitnah, melakukan kekerasan, mendendam, korupsi, membuang sampah sembarangan, tidak peduli pada yang miskin, memperkaya diri sendiri; namun kita bertahan hidup di dalam kasih, pengampunan, kejujuran, kebenaran dan keadilan, maka di situlah kita melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Yesus lakukan. Ketika hidup kita menjadi berkat bagi orang lain, dan tidak menjadi batu sandungan (1 Petrus 2:5), maka di situ pun kita melakukan pekerjaan Yesus, memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Allah.
Bagaimana kehidupan sebagai seorang Kristen yang kita jalani selama ini? Apakah iman, sungguh-sungguh bermakna bagi kita? Dan apakah kepercayaan kita kepada Yesus mewujud nyata dalam karya dan kesaksian kita bagi Dia? Amin